Tendensi penggunaan bahasa Indonesia di media massa pada umumnya bersifat agitatif. Pro dan kontra terhadap bahasa di media massa masih terjadi di masyarakat. Hal yang paling menarik dan sering menjadi perhatian di masyarakat adalah penggunaan bahasa dalam iklan. Bahasa iklan yang kita lihat di media massa tentunya tidak selalu menggunakan bahasa Indonesia. Bahasa asing dan bahasa daerah kerap menjadi pilihan bahasa dalam iklan-iklan tersebut. Di dalam teori bilingualisme, kasus semacam ini dikenal dengan istilah campur kode. Ada dua bentuk campur kode dalam bahasa iklan yang dibahas di sini, yakni campur kode bahasa Inggris dan Italia (bahasa asing) dalam pemakaian bahasa Indonesia (campur kode ke luar) dan campur kode bahasa Bali (bahasa daerah) dalam pemakaian bahasa Indonesia (campur kode ke dalam). Selain itu, terdapat lima wujud campur kode dalam bahasa iklan, yaitu penyisipan kata, penyisipan frasa, penyisipan klausa, penyisipan ungkapan atau idiom, dan penyisipan bentuk baster (gabungan pembentukan asli dan asing). Selanjutnya, ada lima faktor penyebab terjadinya campur kode dalam bahasa iklan, yaitu (1) alasan akademis, (2) gengsi, (3) persuasif, (4) komunikatif, dan (5) latar belakang konsumen. Bahasa dalam iklan yang sering menyelipkan bahasa daerah atau bahasa asing merupakan salah satu bentuk kekayaan (kebakiran) nusantara yang sah saja jika digunakan, mengingat bahasa Indonesia dapat bermanifestasi menjadi banyak pilihan kata dan bersifat arbitrer