KAJIAN YURIDIS PASAL 31 TENTANG FRASA BUKTI PERMULAAN YANG CUKUP DAN PASAL 31A TENTANG FRASA KEADAAN MENDESAK DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 2018 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME

Authors

  • Made Vira Sadvika Dewi Program Studi Ilmu Hukum Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja, Indonesia
  • Made Sugi Hartono Program Studi Ilmu Hukum Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja, Indonesia
  • Si Ngurah Ardhya Program Studi Ilmu Hukum Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja, Indonesia

DOI:

https://doi.org/10.23887/jatayu.v4i2.38110

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk (1) mencari tahu dan menganalisis interpretasi dari ketentuan Pasal 31 tentang frasa bukti permulaan yang cukup dan Pasal 31A tentang frasa keadaan mendesak dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018, (2) mengetahui dan menganalisis konsekuensi hukum apabila penyadapan tidak dibarengi penetapaan ketua pengadilan negeri. Jenis penelitian yang digunakan adalah adalah penelitian hukum normatif. Menggunakan pendekatan perundang-undangan, pendekatan konseptual serta pendekatan kasus. Sumber bahan hukum yang dipergunakan adalah bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, bahan hukum tersier. Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan adalah melalui studi pustaka. Teknik analisis bahan hukum yang digunakan adalah teknik analisis kualitatif dan interpretasi. Hasil penelitian ini menunjukan (1) Frasa bukti permulaan permulaan yang cukup pada Pasal 31 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 diartikan sebagai minimal 2 alat bukti. Makna frasa keadaan mendesak dalam Pasal 31A dapat dilihat dalam Pasal 84 ayat (2) rancangan KUHP, (2) Konsekunesi hukum apabila penyadapan tidak dibarengi dengan penetapan ketua pengadilan negeri pada proses penyadapan yang sedang berlangsung di tahap penyidikan adalah penyadapan tersebut harus dihentikan serta alat bukti hasil penyadapan tersebut tidak bisa digunakan sebagai alat bukti. Konsekuensi hukum apabila penyadapan tidak dibarengi penetapan ketua pengadilan negeri pada proses pemeriksaan alat bukti di pengadilan maka alat bukti hasil penyadapan dengan cara tidak sah dan harus dikesampingkan oleh hakim atau dianggap tidak mempunyai nilai pembuktian di pengadilan, dan alat bukti tersebut dapat dimusnahkan oleh pusat pemantauan Polisi Republik Indonesia.

Downloads

Published

2021-08-20